ARTICLE AD BOX
Pantaka Sugiarta Sujatmika (30), selaku konseptor sekaligus undagi Ogoh-Ogoh, menjelaskan bahwa proses pembuatan telah dimulai sejak 10 Januari 2025. Dengan keterbatasan dana yang hanya sebesar Rp10 juta, ST Kumuda Jaya berusaha memaksimalkan kreativitas dengan memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia. Kardus dan kertas bekas digunakan sebagai pengganti koran yang kini sulit ditemukan dan mahal harganya.
“Walaupun sekarang biaya pembuatan Ogoh-Ogoh bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, kami tetap berusaha menampilkan karya terbaik dengan biaya seadanya,” ujar Pantaka, yang juga bekerja sebagai petugas Samsat di Kabupaten Karangasem.
Tema yang diusung ST Kumuda Jaya lahir dari keprihatinan terhadap tingginya angka kasus bunuh diri di Karangasem. Ide ini juga mendapat bimbingan dari seorang seniman senior, I Made Kawantara, yang berasal dari Kuta, Badung. Karya Ogoh-Ogoh yang disiapkan menyambut Tahun Baru Caka 1947 ini menampilkan lebih dari empat karakter yang merepresentasikan nasib para pelaku bunuh diri dalam perspektif karma.
“Dalam budaya Hindu Bali, bunuh diri adalah tindakan yang memiliki konsekuensi karma berat. Kami ingin menyampaikan pesan moral kepada masyarakat, khususnya generasi muda, agar lebih menghargai hidup dan tidak mengambil jalan pintas dalam menghadapi permasalahan,” tambah seniman tato ini.
.
Saat ini, pembuatan Ogoh-Ogoh masih dalam tahap pembentukan anatomi tubuh. Jika nantinya ada lomba tingkat kabupaten, ST Kumuda Jaya siap berpartisipasi meski lebih mengutamakan pengalaman dan nilai seni daripada ambisi menang.
Dalam kesempatan ini, Pantaka juga menyoroti fenomena penggunaan sound system berlebihan saat pawai Ogoh-Ogoh. Menurutnya, hal tersebut sudah jauh melenceng dari esensi tradisi. Ia berharap ada sanksi tegas bagi kelompok yang tetap menggunakan sound system dalam parade.
“Budaya Bali ini harus tetap lestari, dan seni karawitan harus diutamakan dalam pawai Ogoh-Ogoh, bukan musik keras dari sound system,” tegas Pantaka yang juga membuka usaha cukur barber ini.
Dalam satu dekade terakhir, penggunaan material ramah lingkungan dalam pembuatan Ogoh-Ogoh mulai kembali diterapkan. Ini dianggap sebagai langkah yang baik dalam menjaga kelestarian alam sekaligus mempertahankan ciri khas seni tradisional Bali. Di Karangasem, yang memiliki banyak sumber daya alam, daun-daun kering dan bahan organik bisa dimanfaatkan sebagai alternatif ramah lingkungan.
Pantaka juga menyoroti fenomena insiden pembakaran Ogoh-Ogoh yang terjadi di beberapa tempat belakangan ini. Menurutnya, kejadian semacam itu sangat merugikan para seniman, dan ia berharap insiden serupa tidak terulang lagi.
Pasca pandemi COVID-19, perkembangan seni Ogoh-Ogoh di Bali, termasuk di Karangasem, mengalami kemajuan pesat. Meski tahun ini tidak ada lomba tingkat provinsi seperti pada 2023, semangat berkarya di kalangan pemuda Karangasem tetap tinggi.
“Antusiasme di Karangasem sangat luar biasa meskipun minim wadah. Harapan kami, seni Ogoh-Ogoh di daerah kami lebih mendapat perhatian dari pemerintah, karena seni ini memiliki banyak dampak positif,” pungkasnya. *m03