ARTICLE AD BOX
Tindakan ini, menurut Ajus, menjadi kebutuhan mendesak bagi para nelayan yang kesulitan mengakses laut untuk memancing, akibat terhambatnya jalur-jalur tradisional mereka.
Pada tahun 2024, sebanyak 37.241 kali pergerakan nelayan di kawasan tersebut terganggu, dengan lebih dari 400 nelayan yang terdampak.
"Saya turun langsung ke lokasi untuk meminta PT BTID mencabut pelampung laut itu secepatnya. Jangan sampai masyarakat terhambat lagi untuk mendapatkan nafkah mereka," tegas Ajus Linggih, Rabu (12/2/2025).
"Kami di DPRD akan terus memantau masalah ini hingga ada solusi yang jelas. Jangan sampai nelayan terus terhimpit dengan kebijakan yang justru merugikan mereka," imbuhnya.
Permintaan ini muncul karena berbagai persoalan mendesak yang perlu segera diselesaikan. Ajus Linggih berharap keputusan cepat dari PT BTID bisa mengurangi keresahan yang dirasakan oleh masyarakat. "Ini bukan hanya soal akses, tapi soal hidup mereka. Saya berharap BTID cepat bertindak demi kesejahteraan nelayan," tambahnya.
Sementara itu, Lurah Serangan Wayan Sukanami mengonfirmasi bahwa kondisi masyarakat Serangan saat ini masih kondusif. Meski begitu, nelayan yang terdata oleh PT BTID sudah diberi akses berupa ID card dan atribut rompi sebagai tanda pengenal saat beraktivitas di kawasan Kura Kura Bali. Namun, pengaruh kebijakan pelampung laut yang dipasang sementara ini jelas terasa bagi para nelayan lokal.
Kepala UPTD Tahura, Ketut Subandi, turut memberikan pernyataan terkait masalah penataan UMKM di kawasan Tahura. Sejak terjadinya pandemi Covid-19, pelaku UMKM yang mayoritas berasal dari masyarakat lokal Serangan diberi kesempatan untuk mencari penghidupan tambahan. Namun, semakin banyak pelaku usaha yang melanggar aturan, sehingga Pemkot Denpasar dan pengelola Tahura sepakat untuk menertibkan kegiatan UMKM yang melanggar hukum dan mengganggu kelestarian kawasan Tahura.
Dalam rapat yang digelar pada 1 Februari 2025, disepakati pemberian tenggat waktu 60 hari bagi para pelaku UMKM untuk menata ulang usaha mereka yang berada di 17 titik lokasi di Tahura.
Di sisi lain, Head of Communication PT BTID, Zakki Hakim, menanggapi isu yang beredar dengan mengungkapkan bahwa sekitar 40.800 warga lokal Serangan telah terdaftar di kawasan tersebut, termasuk nelayan pesisir, nelayan laut lepas, petani rumput laut, dan petani terumbu karang. Meskipun akses masuk telah diberikan kepada nelayan dan petani, kendala yang dihadapi nelayan laut lepas cukup serius.
Pendangkalan pantai yang terjadi di sebelah barat Sakenan akibat sedimentasi dari pekerjaan tetangga menghambat pergerakan jukung nelayan, memaksa mereka untuk menyebrang lebih jauh ke Sakenan dan melewati jembatan untuk sampai ke laut.
Zakki menegaskan bahwa PT BTID selalu memberi akses penuh kepada warga lokal tanpa diskriminasi, baik itu nelayan, petani, maupun tamu yang datang. Namun, dia juga mengakui bahwa intensitas pekerjaan konstruksi dan pembatasan kawasan menjadi masalah yang memerlukan komunikasi lebih lanjut dengan pemerintah dan masyarakat.
"Selama bertahun-tahun, kami sudah memberi akses penuh kepada warga lokal, namun masalah teknis seperti sedimentasi dan pekerjaan konstruksi memang harus segera diselesaikan. Kami juga mendukung kebijakan Gubernur Bali dalam mengedepankan pariwisata berkualitas dan kelestarian alam," kilah Zakki.
Masyarakat Serangan sendiri merasa bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam kegiatan mereka. Namun, mereka berharap ada penyelesaian yang lebih baik melalui dialog terbuka. "Kami berharap ada win-win solution. Jangan biarkan masalah ini terus berlarut-larut," ungkap salah seorang nelayan yang meminta agar masalah ini segera mendapat perhatian lebih.
Isu yang beredar bahwa ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi semakin memperkeruh suasana. Masyarakat umum merasa bahwa tindakan cepat dan komunikasi yang jujur adalah kunci untuk menghindari kerugian lebih lanjut bagi nelayan dan petani lokal.
Sebuah solusi yang menguntungkan semua pihak sangat diharapkan agar ketegangan ini segera mereda. *isu